Hukum Pancung dalam Islam, Aturan Pelaksanaan, serta Hikmah Penerapannya

Hukum Pancung dalam Islam – Beberapa waktu yang lalu, terdapat sebuah kasus seorang WNI yang mau dihukum pancung oleh pemerintah Saudi Arabia. Terlepas dari benar atau tidaknya perlakuan dari WNI tersebut ataupun dari perihal politis lainnya.

Artikel ini hanya akan membahas hukum pancung dalam Islam. Diharapkan dari pembahasan ini akan menambah keimanan kita kepada Allah SWT.

Segala kejahatan terhadap fisik diatur oleh Allah SWT dalam syariat-Nya yang disebut hukum Jinayat. Diantaranya ada yang di-qishash dan ada yang membayar diyat.

Pelaksanaan Hukum Pancung dalam Islam

merahputih.com

Qishash ialah hukuman yang diberikan kepada pelaku dengan kadar yang serupa dengan kejahatan yang dilakukan. Seperti contoh, mematahkan gigi atau melakukan pembunuhan.

Pelaku yang melakukan kejahatan tersebut akan dihukum sesuai dengan kejahatan jika keluarga si korban tidak memaafkan pelaku.

Hukum qishash di dalam hal pembunuhan telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai hifzh an-nafs (menjaga jiwa), sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah [2]: 179)

Artinya, diterapkannya hukum qishash ini untuk siapapun yang melukai dan membunuh orang lain akan berdampak terhadap kemananan tiap jiwa yang berada dalam naungan hukum Islam tersebut.

Siapapun tak bisa dengan mudah dan sesukan hati melukai atau bahkan membunuh sesamanya sebab ada konsekuensi dihukum qishash padannya.

Hal tersebutlah yang diharapkan akan menimbulkan efek jera (zawâjir) kepada siapapun. Sebab pelaksanaan hukum qishash haruslah dilakukan di hapadan khalayak umum.

Selain terdapat aspek zawâjir juga terdapat aspek jawâbir yakni mengampuni si pelaku kejahatan dari hukuman di akhira. Aspek kedua inilah yang tak terdapat di hukum mananpun selain hukum Islam.

Nabi SAW pernah bersabda diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit ra beliau berkata: suatu ketika kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah majlis, kemudian Beliau bersabda:

“Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan suatu apa pun, tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan (jalan yang) benar. Siapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya dari Allah SWT, dan siapa yang melanggarnya kemudian dihukum (di dunia) maka hukuman tersebut sebagai tebusan baginya (untuk hukuman di akhirat). Dan siapa yang melanggarnya kemudian Allah tutupi (dari hukuman di dunia), maka keputusannya di tangan Allah SWT, jika Dia menghendaki akan mengampuninya, dan jika menghendaki akan menghukumnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim, dengan lafazh milik Muslim)

Qishash sendiri memiliki peran sebagai pelengkap dari larangan Allah SWT untuk membunuh sesama Muslim, seperti dalam firman-Nya sebagai berikut:

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Furqon [25]: 68-71)

Aturan Pelaksanaan Hukum Pancung dalam Islam

carigold.com

Namun, dalam prakteknya hukum qishash memiliki aturan tersendiri dalam pelaksanaannya, tidak boleh sembarangan dilakukan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut:

1. Kepastian Pelaku Pembunuhan

Kepastian ini dapat diperolah dari persaksian dua orang laki-laki yang meyakinkan dan tak diingkari oleh si terdakwa. Bisa juga dari pengakuan terdakwa yang berada dalam kondisi sadar, tidak mabuk, gila, atapun di bawah tekanan orang lain.

Dalam Islam prinsip penjatuhan sanksi ada dalam hadits Nabi SAW sebagai berikut ini:

Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Hindarkanlah oleh kalian hukuman hudud dari kaum muslimin sebisa mungkin, jika ada suatu peluang baginya (untuk bebas) maka bebaskanlah ia, (karena) sungguh seorang Imam/Khalifah salah dalam memaafkan itu lebih baik daripada salah dalam menghukum.” (HR. Turmudzi dan Al Baihaqi)

Namun, jikalau terdakwa mengingkari kesaksian dari dua saksi tersebut maka baginya harus dilakukan sumpah atas pengingkarannya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW pernah berkata dalam sebuah khuthbahnya: “atas pendakwa untuk mendatangkan bayyinah (saksi), dan atas terdakwa untuk bersumpah (jika mengingkari dakwaan atas dirinya).” (HR. At-Turmudzi)

2. Keluarga Korban Tidak Memaafkan

Jika ternyata keluarga si korban memaafkan maka hukum qishash tak boleh dilaksanakan. Akan tetapi, diganti dengan membayar diyat oleh si pelaku kepada keluarga korban.

Namun, jika keluarga korban tak memaafkan maka qishash tidak disegerakan tetapi diulur hingga beberapa waktu lamanya sesuai pendapat dari hakim/qadhi.

Diharapkan dari penguluran waktu tersebut, keluarga korban akan berubah pikiran untuk memaafkan sebab mereka juga memiliki hak untuk itu.

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah [2]: 178)

Artinya, hukum qishash tidak akan dilakukan jika pelaku mendapatkan maaf dari keluarga atau ahli waris yang terbunuh. Namun, si pelaku diwajibkan membayar diyat.

Selain itu, pembayaran diyat pun harus diminta dengan cara yang baik tak boleh memaksa. Si pelaku pun harus membayar diyatnya juga dengan cara yang baik tak boleh ditangguh-tangguhkan.

Jika ahli waris tetap melakukan qishash atau membunuh si pelaku setelah menerima diyat, maka terhadapnya akan diambil qishash dan di akhirat akan mendapat siksa yang pedih.

3. Keputusan Ditetapkan oleh Hakim/Qadhi yang Syar’i

Penerapan hukum qishah sama halnya dengan hudud, harus berdasarkan keputusan dari peradilan yang syar’i, tak boleh dilaksanakan secara parsial bahkan sembarangan.

Peradilan yang syari ialah jika yang memutuskan hukuman adalah seorang Imam atau Khalifah di mahkamah dan hal ini sudah maklumdi kalangan banyak ulama.

Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan dalam kitab beliau Mafâtîh Al Ghayb fî At-Tafsîr:

“Umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada seorang pun rakyat yang boleh menerapkan Hudud terhadap para penjahat, bahkan mereka juga bersepakat bahwa penerapan Hudud terhadap para penjahat merdeka tidak boleh dilakukan kecuali atas wewenang Imam/Khalifah. Maka, ketika taklif ini (penerapan Hudud) bersifat pasti/harus dan tiada jalan keluar dari taklif tersebut selain dengan keberadaan Imam, mengingat sesuatu yang kewajiban tidak terlaksana tanpanya sedangkan ia dimampui oleh mukallaf hukumnya adalah wajib, maka itu mengharuskan secara pasti wajibnya mengangkat Imam/Khalifah.” (Mafâtîh Al Ghayb fî At-Tafsîr, vol 11, hlm 181)

Hukum Pancung dalam Pandangan Ilmiah

voanews.com

Hukuman mati yang dilaksanakan dengan hukum pancung jauh lebih baik serta lebih manusiawi dari hukuman mati dengan cara lainnya seperti ditembak. Mengapa? Begini penjelasan ilmiahnya.

Hukuman mati dengan cara ditembak seperti metode Barat ialah dengan menyuruh banyak algojo, namun dari banyak senapan itu hanya ada satu senapan berpeluru tajam. Artinya, hanya ada satu organ yang ditembak, bisa jantung bisa otak.

Jika jantung yang ditembak, maka otak masih berfungsi selama beberapa saat sehingga yang dieksekusi tidak segera mati.

Namun, jika otak yang ditembak maka tentu jantung masih berdetak dan yang dieksekusi pun juga tak langsung mati.

Di salah satu harian nasional tahun 2005, pernah dibahas ada terpidana mati yang ditembak dan baru menemui ajal 20-30 menit setelah ditembak.

Konon, pembantai keluarga dokter di Purwokerto tersebut mati setelah 25 menit dieksekusi regu tembak di Nusakambangan. Jangan dikira seperti apa rasa sakitnya!

Akan tetapi sebaliknya, eksekusi mati yang sesuai syar’i ialah dengan dihukum pancung. Algojo hanya perlu satu orang, berbekal pedang yang amat sangat tajam.

Bayangkan sekali tebas, kepala lepas. Sekilas nampak sangat mengerikan. Namun, lihat betapa sayangnya Allah SWT kepada semua hamba-Nya, saat leher putus, maka “kabel” yang menghubungkan otak dan jantung (spinal cord) langsung putus.

Ketika hubungan keduanya putus, maka jantung akan kehilangan kontak dengan otak. Dampaknya jantung langsung berhenti berdetak dan orang akan mati seketika tanpa merasakan sakit yang lama.

Pernyataan di atas tentu memiliki pondasi yakni penelitian oleh Prof. Wilhelm Schulze dan Dr. Hazim dari College of Veterinary Medicine, Hannover University, German.

Dimana mereka menjelaskan bahwa orang yang dipancung tak merasakan sakit sama sekali, sebab tak ada sama sekali saraf sakit yang tersentuh. Kesimpulannya ialah, syariat Islam mengenai hukum mati dengan cara dipancung scientifically excellent.

Demikian pembahasan mengenai hukum pancung dalam Islam dimana hal tersebut berkaitan dengan hukum qishash. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan pelajaran serta menambah ketakwaan kita kepada Allah SWT.

1 thought on “Hukum Pancung dalam Islam, Aturan Pelaksanaan, serta Hikmah Penerapannya”

Beri Tanggapan